Buletin

Penganiayan Ulama, Rapot Merah Polisi !

 Masih hangat di ingatan, kasus penganiayan pimpinan pondok pesantren Al-Hidayah (Santiong), Cicalengke, Kabupaten Bandung, terjadi peristiwa penganiayan setelah shalat shubuh kepada Kyai Umar Basri. Kejadian serupa terjadi juga kepada kepala operasi (Ka Ops) Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis), R Prawoto mengalami penganiayan yang membuat nyawa brigade persis tersebut melayang.

Kali ini masyarakat kembali dibuat resah oleh berbagai laporan-laporan mengenai kejadian serupa bermunculan. Banyak laporan yang mengatakan bahwa terjadi teror kepada ulama dan ada juga beberapa orang asing yang berkeliaran mencari informasi perihal kyai-kyia setempat. Berdasarkan kecurigaan dan melihat dari kasus yang terjadi terhadap penganiayan ulama, para warga sekitar mengusir orang-orang yang mencurigakan tersebut.

Faktanya keresahan di kalangan masyarakat terkait kasus penganiayan ulama ini kian mencuat. Hal ini didasari pada himbauan–himbauan mewaspadai kepada setiap gerakan orang asing yang mecurigakan. Juga pada asumsi-asumsi yang berkembang di kalangan masyarakat.

Bukan hanya itu, pada kasus ini pun terjadi keresahan kepada orang gila yang berkeliaran. Masyarakat seolah phobia akan kehadiran orang gila di sekitar mereka. Tentunya dengan kejadian ini setiap orang akan semakin under estime atau menilai rendah terhadap orang gila yang ada. Padahal dalam undang-undang di atur hak-hak orang gila yang patut ditermia oleh mereka. Pada pasal 42 UU HAM yang berbunyi :

“Setiap warga negara yang berusia lanjut cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Kasus ini yang menjadikan orang gila sebagai tersangka, tentu akan semakin berpengaruh terhadap peniliain masyarakat terhadap orang gila. Mereka akan semakin curiga terhadap orang gila dan bahkan akan mengasingkan orang gila. Hal ini didasari karena keresahan yang terjadi di masyarakat sehingga timbul mejadi kecurigaan-kecurigaan yang dapat diimplementasikan dengan tindakan-tindakan di luar batas.

Namun, terlepas apapun dari motif ataupun maksud aksi penganiayan ini yang perlu digaris bawahi dan ditekankan yaitu keresahan yang terjadi dalam masyarakat. Jika anda cermati maka tindakan waspada yang dianjurkan beberapa pihak tersebut adalah buah dari keresahan yang timbul dari kasus ini. Ingat, implementasi dari kecurigaan ini dapat berupa tindakan-tindakan di luar batas yang sudah tentu tidak dinginkan terjadi.

Kemudian pertanyaannya, siapa yang harus bertanggung jawab dalam hal ini ? dalam keresahan yang membentuk sikap kecurigaan ini. Siapa yang harus meredakan ini ?

Jika pertanyaan itu yang diajukan maka yang seharusnya bertanggung jawab atas kasus ini adalah pihak kepolisian. Tidak terdapatnya perlindungan bagi masyarakat sehingga kasus-kasus ini semakin banyak bermunculan. Situasi yang tidak aman menyebabkan keresahan terjadi di masyarakat. Hal ini menyalahi tugas pokok dari kepolisian yang memberikan perlindungan dan memelihara keamanan. Hal ini di atur dalam pasal 13 UU No 2 tahun 2002 berbunyi :

  • Memelihara keamanan dan keterlibatan masyarakat;
  • Menegakan hukum;dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Kasus-kasus di atas merupakan rapot merah bagi pihak kepolisian. Kegagalan dalam menjalankan tugas pokoknya yang memelihara keamanan dan memberikan perlindungan bagi masyarakat. Saat ini mungkin masyarakat akan mempertanyakan bagaimana kerja kepolisian sehingga tugas pokok tersebut tidak terlaksana.

Tulisan ini hanya bentuk ungkapan keresahan yang dialami dan dapat menjadi pesan bagi kepolisian agar memperbaiki rapot mereka dengan melakukan tugas pokok utama mereka, sehingga dapat menciptakan situasi di masyarakat yang terhindar dari keresahan dan kecurigaan.