Keyakinan dalam Ilmu, Jalan Menuju Insan Yang Bermanfaat

Di tengah deru zaman yang kian memekakkan, di mana pragmatisme dan orientasi instan merajai, ilmu seringkali tereduksi maknanya yang hakiki. Ia kerap disempitkan sekadar menjadi tangga menuju status sosial, jalan pintas meraih karier gemilang, atau legitimasi pengakuan publik yang semu.
Nilai-nilai luhur yang seharusnya mengiringi proses menuntut ilmu seperti kesabaran, ketekunan, dan keikhlasan kian tergerus oleh ambisi mengejar hasil cepat. Dalam pusaran realitas ini, saya memegang teguh satu prinsip yang tak boleh lekang: keyakinan terhadap ilmu adalah akar yang menumbuhkan pribadi yang benar-benar memberimanfaat.
Ilmu tanpa keyakinan, bagai jasad tanpa ruh. Ia mungkin memadati akal dengan segunung informasi, namun takkan mampu menyentuh relung nurani. Ia bisa menjadikan seseorang pandai dalam teori, namun hampa dalam kebijaksanaan; menguasai data, tetapi kehilangan arah kehidupan.
Sebaliknya, keyakinan terhadap ilmu adalah nyala yang melahirkan penghormatan tulus pada proses, ketekunan yang tak tergoyahkan dalam menimba makna, dan orientasi hidup yang melampaui sekadar capaian materi duniawi. Sebagai seorang santri, saya meyakini bahwa di tengah gempuran modernitas yang membius, ilmu yang dilandasi iman, dipelajari dengan adab, dan diamalkan dengan kesadaran sosial adalah fondasi utama bagi lahirnya perubahan yang bermakna dan abadi.
- Keyakinan: Fondasi Ruhani Penjelajah Ilmu
Keyakinan terhadap ilmu bukanlah sekadar persetujuan akal bahwa ilmu itu penting. Lebih dari itu, ia adalah laku batin, sebuah sikap kalbu yang membentuk cara pandang, niat, dan tujuan seseorang dalam setiap langkah belajarnya. Ia adalah kompas tak terlihat yang menuntun sang penuntut ilmu menembus belantara kompleksitas, membedah setiap fragmen kebenaran dengan kesungguhan.
Ketika keyakinan ini bersemayam, seseorang takkan menempuh jalan ilmu dengan tergesa-gesa atau sekadar menggugurkan kewajiban. Ia belajar dengan hati yang lapang, dengan sikap rendah hati layaknya penadah hujan yang tak pernah menolak setetes air, dan dengan keyakinan penuh bahwa setiap huruf yang dieja, setiap kalimat yang direnungi, dan setiap proses yang dilalui adalah bagian tak terpisahkan dari jalan hidup yang penuh makna. Ia adalah penjelajah yang tahu bahwa setiap kerikil adalah pelajaran, setiap tanjakan adalah penguat, dan setiap puncak adalah gerbang menuju cakrawala baru.
Namun, ketika keyakinan ini memudar, ilmu pun kehilangan cahayanya, mudah dikorbankan demi kepentingan sesaat. Kita dapat menyaksikan fenomena di mana banyak orang menghalalkan segala cara untuk meraih gelar, menyebarkan hoaks demi terlihat cerdas, atau bahkan menyalahgunakan pengetahuan untuk menindas sesama. Ilmu yang tercerabut dari akarnya, yaitu keyakinan, hanya akan menjadikan manusia terasing dari kemanusiaannya sendiri, bahkan menjerumuskannya pada kehampaan moral yang gelap. Bukankah demikian Al-Qur'an mengisyaratkan tentang pentingnya pondasi keimanan dalam menuntut ilmu?
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas"" (QS. Al-Alaq: 1-6)
Ayat ini bukan sekadar perintah untuk membaca, melainkan sebuah penegasan bahwa ilmu berasal dari Allah, Sang Maha Pencipta. Keyakinan akan sumber ilmu ini—bahwa segala pengetahuan adalah anugerah ilahi akan membimbing setiap penuntut ilmu pada kesadaran akan tanggung jawab moral yang melekat padanya. Ia akan merasa bahwa ilmu bukan sekadar "miliknya", melainkan amanah dari Sang Maha Tahu, yang harus dijaga dan diamalkan dengan penuh integritas.
- Ilmu dan Ruh: Harmoni untuk Kebijaksanaan Hakiki
Imam al-Ghazali, sang Hujjatul Islam, dalam mahakaryanya Ihya’ ‘Ulumuddin, dengan tegas mengingatkan bahwa ilmu sejati bukanlah yang banyak dihafal, tetapi yang mampu menghidupkan jiwa dan menerangi kalbu. Beliau menyebut ilmu sebagai cahaya (nūr) yang membimbing akal dan membersihkan hati. Tanpa iman dan adab, ilmu justru bisa menjadi musibah yang melahirkan kesombongan, bukan kebijaksanaan.
Ini yang meneguhkan saya pada kesimpulan bahwa keyakinan terhadap ilmu haruslah beriringan dengan akhlak mulia dan tanggung jawab moral yang kokoh. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an: "Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ayat ini adalah mercusuar yang menerangi jalan kita. Ia mengisyaratkan bahwa ketinggian derajat tidak hanya ditentukan oleh kepemilikan ilmu, melainkan juga oleh keimanan. Ilmu dan iman adalah dua sayap yang harus dikepakkan bersama untuk terbang tinggi mencapai puncak kebijaksanaan dan manfaat.
Tanpa iman, ilmu bisa menjadi belati tajam yang melukai; tanpa ilmu, iman bisa menjadi lentera redup yang tak mampu menerangi jalan. Ketika keduanya bersatu, maka lahirlah pribadi yang utuh, yang mampu melihat kebenaran bukan hanya dengan mata kepala, tetapi juga dengan mata hati.
Sebagai seorang santri, panggilan saya melampaui batas-batas dinding madrasah. Saya tidak ingin hanya menjadi penghafal kitab-kitab klasik, tetapi juga penafsir zaman yang mampu membaca dan menjawab tantangan kontemporer dengan kedalaman wawasan dan kearifan. Saya tidak ingin hanya tahu hukum halal dan haram secara parsial, tetapi juga bagaimana menghadirkan keadilan dalam kehidupan nyata, menopang tiang-tiang kemaslahatan umat.
Ilmu yang saya yakini bukan sekadar untuk lulus ujian atau meraih nilai tinggi, tetapi untuk menjawab persoalan-persoalan sosial yang mendesak: ketimpangan ekonomi yang menganga, kemiskinan struktural yang melilit, kebodohan yang melanggeng, dan kebekuan hati yang menggerus empati.
- Transformasi Ilmu Menjadi Energi Sosial: Contoh Konkret
Keyakinan terhadap ilmu ini pada akhirnya akan menjelma menjadi energi sosial yang dahsyat, menggerakkan seseorang untuk tidak hanya belajar demi kebaikan dirinya sendiri, tetapi juga untuk ummat, untuk kemaslahatan bersama. Ia adalah katalis yang mengubah pengetahuan kognitif menjadi kepedulian yang mendalam, mengubah teori menjadi tindakan nyata yang transformatif, dan mengubah hafalan menjadi pengabdian tulus yang tak terbatas.
Contoh konkretnya, ketika saya mempelajari ilmu ekonomi syariah, keyakinan saya pada ilmu ini mendorong saya untuk tidak hanya memahami konsep riba atau zakat, tetapi juga bagaimana menerapkan prinsip-prinsip keadilan ekonomi dalam model bisnis yang nyata untuk memberdayakan masyarakat kecil.
Ini melahirkan gagasan untuk mendirikan koperasi berbasis syariah di desa, sebuah entitas yang bukan hanya bertujuan mencari keuntungan, melainkan mengentaskan kemiskinan melalui distribusi kekayaan yang adil, memberdayakan petani, dan menopang ekonomi lokal. Di sana, setiap anggota bukan hanya sekadar nasabah, melainkan bagian dari sebuah keluarga besar yang saling menopang, belajar bersama, dan tumbuh bersama, sesuai dengan nilai-nilai tolong-menolong dan kebersamaan dalam Islam.
Demikian pula, saat mempelajari ilmu tafsir dan hadis, keyakinan saya mendorong untuk tidak hanya menghafal ayat dan asbabun nuzul, tetapi juga untuk merenungi bagaimana nilai-nilai Al-Qur'an dapat menjadi solusi atas permasalahan moral dan sosial yang ada di sekitar kita. Inilah wujud nyata dari ilmu yang dilandasi keyakinan: ia tidak hanya berhenti di kepala, tetapi mengalir ke hati, lalu termanifestasi dalam tindakan. Ilmu yang diyakini adalah ilmu yang hidup, yang mampu menginspirasi, menggerakkan, dan pada akhirnya, membawa perubahan.
Keyakinan terhadap ilmu adalah fondasi kokoh yang meneguhkan setiap langkah dalam menuntut pengetahuan. Ilmu bukan sekadar himpunan data atau capaian akademis semata, melainkan ruh yang menghidupkan akal dan hati secara simultan. Dengan keyakinan yang mendalam, ilmu menjadi sumber cahaya yang menuntun manusia melewati gelapnya ketidaktahuan, menuju pemahaman yang paripurna dan bermakna. Ia adalah lentera di tangan seorang musafir yang tak pernah gentar menempuh jalan sunyi demi menemukan mutiara kebijaksanaan.
Ilmu yang diyakini dengan sepenuh hati akan menjelma menjadi kekuatan moral yang melahirkan tanggung jawab sosial dan sikap bijak dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan yang kompleks. Dalam kesatuan iman dan ilmu, seseorang bukan hanya menjadi penguasa fakta, tetapi juga pelaku perubahan yang berakar pada nilai-nilai etika dan kemanusiaan universal. Ia adalah arsitek peradaban, yang membangun bukan hanya dengan bata dan semen, tetapi dengan nilai dan visi.
Oleh karena itu, meyakini ilmu dengan sepenuh hati dan menjalani proses belajarnya dengan adab serta keikhlasan adalah kunci utama bagi lahirnya insan yang tidak hanya cerdas dalam pikirannya, tetapi juga bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, dan umat manusia secara luas. Dengan demikian, ilmu yang dihayati secara mendalam akan senantiasa membawa keberkahan dan memicu perubahan positif bagi peradaban dunia, menerangi jalan menuju masa depan yang lebih adil, bijaksana, dan berkeadaban.
---
Penulis: Hoerunisa (Aspi 4A)