Ilmu dan Keyakinan sebagai Jalan menjadi Santri Bermanfaat

Di tengah kemajuan dalam pendidikan dan peningkatan akses informasi, justru muncul ironi sosial. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2023 bahwa lulusan SMK dan perguruan tinggi memiliki tingkat pengangguran terbuka tertinggi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa memiliki ilmu tidak selalu menjamin seseorang dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi masyarakat.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar, “apakah memiliki pengetahuan saja cukup tanpa menjadi individu yang memberikan manfaat?” Ilmu yang tidak diterapkan, atau bahkan tidak diyakini dan tidak dianggap berharga, hanya akan menjadi tumpukan pengetahuan tanpa arah. Tidak sedikit orang yang memahami konsep, tetapi ragu untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan sosial. Di sinilah terdapat masalah besar yang sering terabaikan dan luput dari perhatian, ilmu akan kehilangan maknanya jika tidak didukung oleh keyakinan.
Ilmu akan menemukan tujuannya ketika ilmu itu disertai dengan keyakinan. Keyakinan terhadap ilmu bukan hanya percaya bahwa suatu konsep itu benar, tetapi juga meyakini bahwa ilmu itu penting, bernilai, dan harus diamalkan. Keyakinan itulah yang menghidupkan ilmu, mengubahnya dari sekadar ucapan menjadi tindakan, dan dari tulisan menjadi kontribusi nyata.
Dalam konteks ini, santri sebagai pelajar ilmu agama dan nilai-nilai moral memiliki peran yang sangat penting. Santri tidak hanya menghafal kitab, tetapi juga diajarkan untuk mengamalkan ilmu, menjadikannya sebagai cahaya dalam amal dan perilaku. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang santri untuk tidak hanya menguasai ilmu, tetapi juga meyakininya dengan sepenuh hati agar dapat menjadi individu yang bermanfaat di tengah tantangan zaman. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad)
Ilmu dalam perspektif Islam bukan hanya sekadar kumpulan teori, melainkan panduan untuk menjalani kehidupan dengan benar. Dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali mengangkat derajat orang-orang yang berilmu (Q.S. Al-Mujadilah : 11). Di sisi lain, keyakinan berfungsi sebagai fondasi spiritual yang menjadikan ilmu tidak hanya sekadar diketahui, tetapi juga diyakini dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Jika ilmu adalah cahaya, maka keyakinan adalah sumbu yang menyalakannya. Keduanya tidak berdiri sendiri, melainkan saling mendukung sebagai jalan untuk membentuk karakter dan menggerakkan amal. Namun, masih banyak yang memiliki salah satunya saja, dan inilah sumber dari persoalan dalam hidup yang kita hadapi sekarang.
Ilmu yang tidak disertai keyakinan sering kali berujung pada stagnansi, hanya menjadi wacana yang tidak pernah diterapkan. Bahkan, ilmu tersebut dapat disalahgunakan ketika seseorang mengetahui kebenaran, tetapi memilih untuk mengabaikannya demi kepentingan pribadi. Di sisi lain, keyakinan tanpa ilmu dapat menghasilkan semangat yang salah arah. Seseorang mungkin sangat yakin terhadap sesuatu, tetapi tanpa landasan ilmu, ia bisa terjebak dalam kesalahan atau fanatisme buta.
Oleh karena itu, yang paling ideal adalah memiliki ilmu yang disertai keyakinan, karena keyakinan inilah yang mendorong seseorang untuk berani mengamalkan dan menyebarkan ilmunya dengan bijak. Seperti yang diungkapkan oleh Abul Kalam Azad (2020), “Ilmu yang tidak diyakini dan diterapkan hanya akan menjadi beban intelektual, bukan kekuatan moral.” Di sinilah santri memegang peran penting, karena kehidupan mereka ditempa oleh keduanya.
Santri bukan hanya sekadar pencari ilmu, tetapi juga pewaris nilai-nilai. Mereka belajar dari kitab, tetapi juga dari teladan guru dan suasana pesantren yang kaya akan adab dan kesederhanaan. Oleh karena itu, menjadikan individu yang bermanfaat adalah cita-cita mulia yang selalu ditanamkan. Ini tidak hanya diwujudkan dalam bentuk ceramah, tetapi juga melalui kontribusi nyata di masyarakat seperti mengajar anak-anak mengaji, membantu menjaga kebersihan lingkungan, bahkan berperan aktif dalam aksi sosial saat terjadi bencana.
Dalam penelitian oleh Nur Laili (2022) yang berjudul “Peran Santri dalam Penguatan Karakter Sosial di Lingkungan Pesantren”, disebutkan bahwa santri yang terlibat dalam kegiatan sosial cenderung memiliki kepedulian dan dampak positif yang lebih besar ketika mereka kembali masyarakat. Namun, di era globalisasi dan digital ini, yang dihadapi santri bukan hanya sebatas mengamalkan ilmu di lingkungan sekitar, tetapi juga harus mampu menjawab isu-isu global yang terus berkembang.
Di era krisis moral, hoaks, dan disrupsi digital ini, santri dituntut jadi penjaga nilai sekaligus agen solusi. Dengan ilmu dan keyakinan, santri bisa berdampak tidak hanya di pesantren, tapi juga di masyarakat luas. Sebagaimana pesan KH. Hasyim Asy’ari, “Jika santri hanya diam, maka masyarakat akan dibentuk oleh mereka yang tak paham nilai.” Ini merupakan panggilan bagi santri untuk terus bergerak dan bersuara dengan ilmu yang diyakini dan keyakinan yang terus belajar. Dengan semua itu, santri diharapkan bukan hanya menjadi penjaga tradisi, tetapi juga menjadi agen perubahan yang bergerak sesuai zamannya.
Ilmu itu seperti cahaya yang menerangi jalan kita, tetapi cahaya itu hanya akan bersinar jika kita memiliki keyakinan yang kuat untuk mengikutinya. Tanpa keyakinan, ilmu dengan mudahnya bisa redup. Dan tanpa pengamalan, ilmu kehilangan makna dan tujuan. Oleh karena itu, bagi santri yang setiap hari bergelut dengan ilmu, penting untuk memiliki semangat yang membara untuk meyakini dan menghidupkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
Di zaman sekarang, tidak cukup hanya dengan mengandalkan hafalan atau pengetahuan saja. Dunia ini membutuhkan santri yang turun tangan dan berkontribusi, bukan hanya sekadar menjadi penonton perubahan. Dengan tantangan yang terus berubah, nilai-nilai yang terus diuji, dan kemajuan yang kadang membingungkan, santri harus berani menjadi pelaku perubahan dengan ilmu yang diyakini dan amal yang memberikan dampak positif.
Jadilah santri yang bermanfaat, bukan hanya karena memiliki banyak pengetahuan, tetapi karena memilih untuk menjadikan ilmunya sebagai jalan untuk berbuat baik. Ketika ilmu diyakini sepenuh hati dan diamalkan dengan sepenuh jiwa, di situlah lahir sosok yang tidak hanya cerdas, tetapi juga mampu memberikan dampak yang berarti bagi orang lain.
---
Penulis: M. Faiz Azmi Ibnu Mansur (Aspa 5)