Damai Itu, Saat Kita Beda Namun Kita Tetap Memilih Bersama
.jpg)
Malam yang sunyi.. dengan langit tampak gelap tanpa cahaya bulan dan kerla-kerlip bintang pun tak ku dapati... angin berhembus menari dianta pori-pori kulitku dengan lembutnya... suara merdu nanti indah terdengar diseluruh penjuru negri tercinta ini.. ya itulah suara adzan.. suara yang menggetarkan hatik manusi tatkala mendengarkan... sedang apapun yang dilakukan.. baik dalam keadaan bersih maun pun kotor semua umat manusia yang mengatasnamakan muslim.. segera beranjak dari pekerjaannya membersihkan diri tat kala suara indah itu sudah berkumandang...
Waktu berjalan lambat namun pasti... pagi itu udara kurasakan begitu sejuk dengan suara indah yang dilantukan burung Nuri disekitar rumah... tampaknya daun-daun pun dipenuhi embun pagi.. aku duduk lalu ku ambil sebuah bunga yang handak terjatuh... aku berdiri dengan penuh suka cita karena kehangantan matahari mulai terasa.. aku menengadah ke lagi.. dan kedengar sebuha irama... irama yang diiringi oleh suara gemuruh manusia.. musik.. atau lagu.. lalu-lau lagu siapa itu ??? lagu yang sangat asing ditelingaku...
Aku berjalan.. menysuru suara itu.. berjalan dan terus berjalan.. hingaa.. hinga samapi pada sebuah tempat dimana musik itu terdengar lebih jelas... aku berdiri memandang bagngan itu.. bangunan yang menjulang tinggi dengan tanda salib di bagian atasnya... lalu...
Terlintas dalam pikiranku.. didunia yang elok ini dengan kekayaan alam yang melimpah dengan kehidupan manusia yang beragama... dan harus ada orang lain yang kita akui keberadaannya... manusia dengan wujud yang sama dengan kita.. dengan kebutuhan yan sama pula.. namun kita punya identitas masing-masing... ya itulah Negeri ku.. Negeri dengan ribuan pulau didalamnya seagai bentuk persatuan yang kokoh... Negeriku tercinta Indonesia..
-
- Pengantar
Indonesia sebagai negara yang demokratis terdiri dari berbagai suku bangsa, ras, agama dan budaya. Disini pula nila-nilai toleransi sangat dubituhkan dan harus dijunjung tinggi. Di Indonesia pula hukum dan undang-undang tentang Hak Asasi Manusia dilegalkan, dengan tujuan untuk memberi kebebasan kepada setiap warga negaranya. Kebebasan yang dimaksud ialah, kebebasan memeluk agama sesuai kepercayaan masing-masing, kebebasan menerima pendidikan, kebebasan bersosialisasi, dsb.
Adalah rahasia umum, Indonesia adalah tebaran etnik dan agama yang menyimpan potensi positif dan negatif dalam dirinya. Dengan kata lain, Indonesia, yang dijuluki jamrud khatulistiwa, dituntut mengelola diversitas etnik agama sebaik mungkin guna menghindari luapan energi negatifnya.[1]
Indoensia dengan keindahan yang tiada batas, dengan icon kota yang sanga imfresh ya itu lah Bandung, Bandung bagiku bukan sekedar maslah georafis, lebih dari itu melibatkan perasaan. Perasaan dapat berjumpa dengan orang-orang cerdas yang kepintarannya setinggi langit.
Kita sering mendengar istilah hak dalam kehidupan sehari-hari. Hak seseorang bisa disebut sebagai suat fitrah yang telah melekat sejak lahir yang diberikan Tuhan Yan g Maha Esa. Hak yang terdapat pada manusia dari lahir itu yang kita pahami sebagai Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) telah melekat pada diri manusia sejak dia lahir dan akan berakhir saat seseorang ini meninggal dunia. Banyak masalah yang berkaitan dengan pelanggaran HAM yang saat ini sedang gencar di perbincangkan di media sosial dan elektroonik. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. jangan sampai kita melakkan pelanggran HAM terhadap orang lain dalam usaha pemenuhan HAM pada diri kita sendiri.
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia meliputi hak untk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapun.
Selayang Pandang Gereja Kristen Pasundan
Gereja Kristen Pasundan (GKP) adalah Gerekja Kristen di Jawa Barat yang berdiri tanggal 14 November 1934. Gereja ini tidak bersifat kesukuan melainkan Gereja Wilayah yang berada di dua Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Gereja Pasundan ini diambil dari nama Pasndaan sesuai dengan tempat Gereja ini yang berada di Tatar Sunda. GKP ini memiliki 58 Jema’at yang tersebar ditiga provinsi yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Selain itu GKP memiliki badan pelayanan, Yayasan badan Rumah Sakit salah satu unitnya adalah Rmah Sakit Immanuel, mereka juga memiliki Yayasan badan Pendidikan mengelola mulai dari TK sampai perguruan tinggi ( STIK Immanuel salah-satunya). Nit-unit lain yang tersebar ialah GKP Dayeh Kolot, GKP Katapang, dan GKP Kalaksanaan, dan beberapa pos. Ada yang dirusak, dibakar sampai rata dengan tanah. Gereja yang kemarin saya kunjngi ialaha GKP Dayeuh Kolot yang berdiri 1954 yang masih betempatkan do komplek tentara, dan 1995 keluar dan berganti kesatuan (pindah ke Cicalengka). Alasan kami melakukan kunjngan ke GKP Dayeuh Kolot, dengan alasan GKP tersebut merupakan salah-satu korban pelanggaran HAM yang mengatasnamakan Agama. Orang yang terlibat dalam kasus tersebut tidak hanya melibatkan pihak Gereja melainkan isu yang tersebar Aparat pemerintah pun ada dibalik peristiwa ini. Disini saya akan mengungkap apa yang sebenarnya terjadi pada peristiwa penyerangan GKP Dayeuh Kolot tersebut.
-
- Kasus Kekerasan Dan Akar Penyebab Konflik
- Kasus kekerasan yang dialami
- Tindak paksa penutupan kegiatan peribadahan umat Kristen anggota Gereja Kristen Pasundan (GKP) Desa Citeureup, Kec. Dayeuhkolot, Kab. Bandung pada tanggal 21 Agustus 2005. Dilakukan oleh sekelompok orang yang menamakan diri Barisan Anti Pemurtadan (BAP) dan Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP).
- Gereja yang dirusak, didemo dan diancam untuk dibakar. Tragedi saat itu masih berbekas pekat di benak para Jema’at GKP Dayeuh Kolot, terlebih lagi sampai sekarang kipas angin yang rusak akibat peristiwa tersebut masih menempel karena memang tidak dignakan pas Hari Minggu. Selain itu, kelompok tersebut jga mengancap kan merobohkan Gereja tersebut apabila mereka tidak segera menutupnya. Dan ketika Hari Minggu tiba, sudah dipastikan ada orang yang mengintai di sekitar Gereja tersebut. sampai suatu ketika, ibu Pendeta Obertina dan saminya hendak pulang setelah melakkan ibadat mereka dicegat oleh seseorang, lalu orang tersebut memarahi Ibu pendeta dengan kata-kata kasar.
- Mereka juga melakukan tindakan yang bersifat intimidasi dengan cara :
- Satu orang menggebrak meja dan menyuruh Pdt. Jujun N.M diam.
- Satu orang lain membentak dan menantang dengan mengatakan “Ibu mau perang atau mau damai?”
- Beberapa menekan dengan pertanyaan ijin Gereja dan mendesak supaya kami meatuhi SKB, Instruksi Gubernur, Instruksi Bupati dan peraturan lainnya tentang pendirian rumah ibadah.
- Mereka melarang warga gereja yang datang untuk masuk, bahkan mereka tanpa ijin masuk ke dalam gereja dan pastori (Rumah Pendeta).
(Perlakuan initimidasi ini disaksikan oleh Pdt. Jujun N.M, Suami, dan Ibu Sutiah Sukarjo yang datang belakangan)
- Akar penyebab konflik (kekerasan)
- AGAP dan BAP secara tegas menyatakan GKP harus tutup karena tidak ada ijin. Perundingan lanjutan tentang masalah diatas diadakan pada tanggal 22 Agustus 2005 dengan fasilitator Muspika Dayeuhkolot (Camat, Kapolsek, Danramil). Namun hasil yang didapat adalah kembali pemaksaan dari pihak BAP/AGAP terhadap Majelis Jemaat GKP Dayeuhkolot untuk menandatangani pernyataan yang berisi penutupan kegiatan ibadah di tempat ibadah termaksud, dengan alasan tempat ibadah tersebut tidak memiliki ijin sebagaimana yang dinyatakan dalam SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01.Ber/Mdn-Mag/1969. Upaya mengajukan perijinan sudah dilakukan sejak tahun 1983, sesuai surat yang dikeluarkan oleh Komandan Batalyon Infanteri Lintas udara 330.
- Mereka menyatakan bahwa masyarakat merasa resah dengan adanya GKP Dayeuhkolot tersebut.
- AGAP/BAP menganggap bahwa adanya Gereja merpakan sebuha bentuk pemurtadan, dan didukung dengan adanya isu-isu kalau pihak Gereja GKP melakukan Kristenisasi, maka dari itu mereka bersikeras ingin menutup Gereja tersebut.
- Aktor yang terlibat dalam konflik (kekerasan)
Pihak yang terlibak dalam peristiwa tersebut banyak, diantaranya :
- Pihak GKP Dayeuhkolot
- Jema’at GKP Dayeuhkolot
- Kelompk AGAP & BAP
- Aparat pemerintah setempat (MUSPIKA)
- Polsek Dayeuhkolo & Danramil
- Masyarakat yang hanya membungkan mulut seolah tak perduli dengan peristiwa tersebut
-
- Pelanggaran HAM Yang Terjadi
- Bentuk pelanggaran HAM
Melihat peristiwa tersebut apabila kita kaitkan dengan atmosfir Negara Indonesia dan kita melihat dengan kacamata hukum, tentu ini merupakan sebuah bentuk pelanggran HAM. Bentuk-bentuk pelanggarna HAMnya yaitu :
- Hak kebebasan beragama, maksudnya bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan beragama menurut kepercayaannya masing-masing.
- Hak perlindungan, yang dimaksud dengan hak perlindungan ialah dimana individu ataupun kelompok memiliki hak dilindungi oleh hukum atau aparat pemrintah setempat. Sehingga individu atau kelompok tersebut memiliki rasa aman.
- Hak persamaan, ini diartikan bahwa setiap manusia itu memiliki kedudukan dan posisis yang sama sebagai seorang manusia yang hidup bersosilisasi. Sama-sama memiliki hak untuk beribadah sesuai agamanya.
- Hak kepemilikan.
Sebagaimana sudah saya jelaskan diawal kalau negara tercinta kita ini adalah negara yang menganut Sistem Demokrasi. Secara terminologi demokrasi dikemukakan oleh Sidney Hook bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secar bebas dari rakyat dewasa.[2]
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa keputusan pemerintah diberikan secara bebas kepada rakyat, jelas disini bahwa kebebasan beragama pun diperbolehkan. Ketika kita kaitkan dengan keadaan GKP Dayeuh Kolot dimana tempat ibadah mereka diserah, dirusak bahkan sampai diancam mau di robohkan. Tentu hal ini tidak menunjukkan sikap toleransi antar umat beragama. Mereka melakukan pelanggaran HAM untuk pemenuhan HAM diri mereka sendiri.
Contoh lain pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kelompok AGAP/BAP ialah Non Deragable yang artinya Hak yang tidak bisa dikurangi bahkan ketika sedang perang pun. Yaitu ibadah, sebuah ritual keagamaan sebagai bentuk kepatuhan Hamba kepada Tuhannya.
- Akibat dan dampak yang ditimbulkan pasca kasus
Tragedi yang terjadi pada Bulan Agustus 2005 menorehkan luka mendalam bagi jema’at GKP Dayeuh Kolot. Bagaimana tidak, tempat ibadat yang sudah menjadi rumah kedua bagi mereka dirobohkan oleh sekelompok orang yang melakukan gerakan anti pemurtadan atas nama agama mereka sendiri. Secara psikologis para Jema’at GKP Dayeuh Kolot tertekan sehingga ada beberapa jema’at yang merasakan takut, dan dari rasa takut itu membuat para Jema’at tidak lagi datang ke Gereja tempat biasa mereka beribadat.
Contoh lain kalau kita pandang dari segi ekonomi setelah adanya peristiwa tersebut, para Jema’at GKP Dayeuh Kolot ini kalau mau beribadat tentu harus datang ke Gereja yang berada di kawasan RS. Immanuel dan ini memberatkan para Jema’at dari segi ekonomi, ibu pendeta menjelaskan kalau kebanyakan dari jema’at mereka yang bermata pencaharian Buruh. Karena lebih jauh gereja tentu lebih besar pula pengeluaran mereka, sementara Gereja mereka yang dulu bisa dijangka hanya dengan berjalan kaki saja. Lebih miris lagi peristiwa tersebut berdampak pada anak-anak. Karena setelah kejadian tersebut banyak para Jema’at yang tidak lagi datang ke Gereja sehingga banyak dari anak-anak mereka juga tidak datang ke Gereja, dan ironisnya anak-anak tidak lagi kenal Gerejanya. Sungguh keadaan yang memprihatinkan.
- Penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi
Setelah mendapat tekanan berkali-kali, Pendeta meminta ijin untuk menghubungi beberapa Majelis Jemaat dan Tokoh Jemaat yang dituakan. Kelompok tersebut pun malah menantang phak GKP untuk memanggil semua orang yang harus gereja datangkan, “Kalau perlu se-Bandung akan kami hadapi!” kata mereka. Lalu, Pdt. Jujun N.M (Pendeta pada sssat itu sebelum ibu Obertina) menghubungi Majelis Jemaat dan Tokoh Jemaat, Kanit Intel Polsek Dayeuhkolot, Polsek Dayeuhkolot, Kasat Intel Polres Bandung, Kasat Intel Polres Cimahi untuk langkah pengamanan, yang segera ditindaklanjuti oleh Polsek dengan menerjunkan sekitar 5 (lima) orang anggotanya. Tokoh masyarakat sekitarpun berdatangan atas permintaan pihak GKP diawali oleh Bp. Kusnadi yang berdialog dengan mereka dan menyatakan bahwa dia, atas nama warga masyarakat setempat yang beragama Islam tidak merasa terganggu dengan keberadaan GKP Dayeuhkolot. Mereka malah menanyakan KTP Bp. Kusnadi untuk mengecek pernyataannya. Bp. Kusnadi awalnya menolak, tapi kemudian memperlihatkannya. Warga masyarakat lainnya datang (Bp. Nardi, Bp. Eman, Bp. Yanto, Bp. Perminanto) dan sempat berbicara juga dengan massa AGAP + BAP. Para tokoh masyarakat ini menyatakan mereka tidak pernah ditanyakan oleh AGAP maupun BAP apakah berkeberatan dengan keberadaan Gereja. Mereka juga tidak tahu menahu tentang kumpulan tandatangan yang menurut AGAP dan BAP adalah kumpulan tandatangan masyarkat setempat. Mereka sebagai warga masyarakat setempat menyatakan tidak berkeberatan dengan keberadaan Gereja, bahkan antara Gereja dan masyarakat telah terjalin kerjasama yang baik. Tidak lama kemudian Petugas-petugas Polsek memasuki ruang tamu untuk memantau. Kemudian mereka berinisiatif mengajak semua pihak berdialog di kantor Polsek Dayeuhkolot. Kompleks Gereja sempat diberi police line untuk pencegahan tindakan anarkis, yang kemudian dilepas sekitar 30 menit kemudian atas instruksi Kapolsek.
Salah seorang dari AGAP dan BAP berkata: “Tempat ini harus ditutup. Kami tidak bertanggungjawab kalau terjadi apa-apa!” (yang berkata demikian Bp. Mukmin). Kemudian semua berangkat menuju kantor Polsek. Setalah menunggu agak lama dengan alasan Kapolsek, yang saat itu hadir, sedang menunggu Kanit Reskrim yang menjadi moderator dialog tersebut. Dialog diadakan di ruangan Kanit Reskrim dengan dihadiri oleh 4 (empat) orang wakil AGAP dan BAP, 2 (dua) orang warga masyarakat (Bp. Cecen selaku ketua RW dan Bp. Dadang), 4 (empat) orang wakil GKP (Pdt. Jujun N.M, Bp. Wattimena, Ibu Sutiah dan Bp. Maladi).
AGAP dan BAP secara tegas menyatakan GKP harus tutup karena tidak ada ijin. Baru saja Bp. Maladi hendak menjelaskan proses perijinan Gereja, perwakilan dari Forum Komunikasi Kristiani Indonesia – Jawa Barat (FKKI-JB) memasuki ruangan. Dialog terhenti karena massa AGAP dan BAP meminta agar rekan-rekannya memasuki ruangan. Akhirnya Kanit Reskrim berusaha mencari ruang lain yang lebih luas. Berkali-kali dialog terhenti cukup lama karena menunggu mereka yang menjalankan sholat dan menanti kehadiran Kapolsek dan Danramil. Dialog kemudian terjadi antar 4 orang wakil GKP, 6 orang AGAP + BAP, dan 3 orang wakil masyarakat. Karena belum ada titik temu, setelah semua pihak mengungkapkan pendapatnya, maka Kapolsek, Wakapolsek dan Danramil meminta waktu untuk berunding tanpa kehadiran yang lain. Perundingan diteruskan dengan pernyataan bahwa Kapolsek dan Danramil perlu berkoordinasi dengan Camat, yang saat itu tidak hadir, sehingga musyawarah bisa dilaksanakan secara lengkap karena dihadiri semua unsure MUSPIKA. Oleh karena itu Kapolsek dan Danramil memutuskan untuk menunda dialog samapi hari Senin 22 Agustus 2005, Pk. 10.00 WIB di kantor kecamatan Dayeuhkolot.
Pada awalnya AGAP dan BAP mendesak agar masalah penutupan Gereja diselesaikan saat itu juga. Namun setelah dijelaskan oleh Kapolsek yang direspon mereka dengan berunding antara forum mereka sendiri, maka mereka memutuskan untuk menerima dengan catatan, apabila Polsek dan Koramil tidak segera bertindak melakukan penutupan Gereja seperti yang mereka inginkan, maka mereka siap untuk melakukan tindakan apapun juga menurut cara mereka. Pihak GKP juga meminta ijin agar dapat melakukan rapat intern jemaat, dan bukan berkebaktian, untuk menyikapi masalah ini. Semua pihak menyetujuinya dengan catatan tidak ada kebaktian.
-
- Inisiatif Perdamaian Dan Resolusi Konflik Secara Damai
- Inisiatif perdamaian yang pernah dilakukan
GKP sejak tahun 1995, mereka banyak membangun relasi yang sangat baik dengan berbagai pihak. Baik pihak pemerintah setempat maupun dengan lembaga pendidikan setempat itu salah satu contoh relasi dalam jaringan kecilnya. GKP Dayeuh kolot tersebut bertempat jauh dari kawasan rumah penduduk, namun dekat dengan pesawan dan pinggirnya gedung sekolah SMP. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama kalau daerah Bale Endah dan Dayeuh kolot sudah menjadi kawasan rawan banjir, sehingga apabila tiba musim hujan masyarakat harus siap siaga kalau terjadi banjir. Saat banjir datang GKP Dayeuh Kolot selalu dijadikan base camp bagi masyarakat yang terkena banjir dan pihak RT pun selau ikut bekerja sama dengan membangun pos bantuan yang dikumpulkan dari anggota Jema’at dan tetangga sekitar Gereja, karena bantuan tidak turun dari pemerintah.
Bantuan yang diberikan kepada korban banjir berupa makanan pokok, pelayanan kesehatan gratis pasca banjir bekerja sama dengan RS Immanuel. Selain itu pihak GKP juga pernah membuka kelompok belajar yang pesertanya anak-anak dan pengajarnya mahasiswa dari ITB dan UNPAD yang merupakan Relasi dari GKP Dayeh kolot tersebut. Dalam program membuka kelompok belajar GKP Dayeuh Kolot juga membuka perpusatakaan sebagai saran anak-anak membaca. Namun program ini dipandang sebelah mata oleh pihak-pihak tertentu (orang muslim) yang dimana mereka takut kalau itu semua merupakan suatu bentuk kristenisasi.
Inisiatif perdamaian yang dilakukan GKP dayeh kolot tidak terhenti sampai disana saja, sejak dua tahun yang lalu setiap tiba Bulan Ramadhan anak-anak muda yang tergbng pada Komisi Pemuda Teladan mereka selalu melakukan penggalangan dana dari anggota Jema’at, dana disebut dikumpulkan guna dilakukan dalam acara “sahur bersama”. Dana tersebut dibelikan kepada bahan makan lalu dimasak oleh ibu-ibu anggota Jema’at dan makannan matangnya dibagikan kepada orang-orang yang ada disekitar Pasar Dayeuh Kolot. Selanjutnya, apabila Natal tiba pihak GKP Dayeh kolot lagi-lagi melakukan kegiatan sosial dengan berbagi kasih dengan panti asuhan. Sejak tua tahn terakhir mereka selalu memberikan bantuan kepada panti asuhan muslim, dengan catatan pati asuhan tersebut mau menerima bantuan dari mereka. Disini pihak GKP menjelaskan kenapa mereka berbagi kasih dengan panti asuhan muslim, karena apabila berbagi dengan panti asuhan kristen mungkin kebanjiran bantuan dari Gereja-gereja yang lain, sehingga mereka berinisiatif berbagi kasih dengan panti asuhan muslim.
- Cara dan upaya yang dilakukan dalam menyelesaiakan konflik yang terjadi
Lagi-lagi pihak GKP Deyeuhkolot tidak berdiam diri setelah mendapat perlakuan yang tidak adil tersebut, mereka lalu melakukan berbagai cara dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Berangkat dari hal inilah ibu Pendeta Obertina tergabung dengan LSM JAKATARUB. Sebuah jaringan yang beranggotakan dari berbagai macam latar belakang agama dan pemahanaman. Di LSM JAKATARUB inilah nilai-nilai toleransi ditanamkan dan sangat dijunjung tinggi. JAKATARUB sendiri hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai barometer hak dan kedudukan setiap manusia itu sama.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak GKP dalam menyelesaikan konflik, baik dengan melaku negoisasi dengan pihak aparat pemerintah setempat. Namn, tidak ada kebijaksanaan dari pihak Aparat pemerintah setempat. Ketika mereka berhadapan dengna Ibu pendeta mereka menyatakan diri akan memihak kepada Ibu pendeta, namun saat melakukan perteman di Kantot Kecamatan mereka semua bungkam, seolah-olah pernyataan tadi tidak pernah terlontar dari mulut mereka. Cara lain yang ditempuh Ibu pendeta dengan pengajkan IMB ke Komnas HAM, dan lagi-lagi tidak berhasil bahkan sudah dilakukan pengajuan sebanyak lima kali.
Akhirnya waktu mengalir seperti air mengikuti alur kehidupan, upaya lain yang dilakukan sebagai bentuk keprihatinan JAKATARUB terhadap perstiwa tersebut mereka lalu mengadakan kegiatan “Youth Inter Faith” atau dalam bahasa Indonesia “Kemah pemuda Lintas Iman”. Ini kegiatan sangat positif didalamnya ada berbagai macam kegiatan seperti Diskusi cek prasangka, menlis di pohon harapan, dsb.
- Tantangan da problem yang dihadapi
Tantangan dan problem tentu banyak dan datang dari berbagai pihak baik pihak intern (Jema’at) maupun ektern (Orang Muslim). Tantangan dari pihak jema’at merupakan sebuah pertanyaan yang dilontarkan ke ibu pendeta, para jema’at selalu bertanya “kenapa kita harus berbat baik ke orang-orang yg sudah jahat kepada kita ?”. namun ibu Pendeta selalu memberi jawaban kalau kejahatan tidak perlu dibalas dengan kejahatan lagi. Tantangan lain dari pihak luar ialah kalau kegiatan positif yang dilakuakn pihak GKP di pandang oleh mereka sebagai bentuk kristenisasi, sehinggga ibu (muslim) resah apabila anak-anak mereka bergabung berlajar dengan kelompok belajar yang diadakan oleh GKP Dayeuh kolot tersebut.
-
- Rekomendasi
Kita hidup di Negara Indonesia dengan sistem demokrasi yang sudah berlangsung dari tahun ke tahun. Bahkan sejak dul pula Pemerintah sudah melandinkan UU tentang hak setiap warga negara memeluk agama sebagai bentuk kepercayaan masing-masing. Maka dari itu hendaknya kita harus menanamkan sikap toleransi antar umat beragama sebagai bentuk dari kesatuan negar indonesia. Selain itu juga dalam agama kita (Islam) tidak mengenal paksaan dalam beragama. Ini terkandung dalam Surah Al-kafirun ayat 6 : لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Yang artinya “ Untukmulah agamamu dan Untukkulah Agamaku’. Kandungan dari ayat tersebut mengajarkan kita untuk bersikap toleransi dalm beragama. Kesadaran tentang toleransi beragama pun tidak hanya dipahami oleh para pemuka agama, cendekiawan muslim, melainkan oleh seluruh lapisan masyarakat baik rakyat biasa maupun para pemerintah, agar tidak ada lagi diskriminasi yang mengatasnamakan agama. Ini pula mengingatkan kita bahwa ketika hendak melakukan pemberantasan yang bersifat mengganggu kehidupan orang lain, kita seharusnya melakukan tabayyun terlebih dahulu.
SUMBER :
Al-Qur’an Al-Karim
Ridwan Al-Makasari, Masjid dan pembangunan Perdamaian, CSRC. Jakarta. 2011
Ahmad Muchtar Ghazali. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Interes media Foundation. Bandung
[1] Lihat Ridwan al-Makassary, MASJID dan pembangunan perdamaian,Hal. 9.
[2] Lihat A. Muchtar Ghazali, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Hal. 131.